Perokok berat itu akan keteteran kalau habis makan tidak menyedot nikotin itu.
Atau habit(uasi) terhadap benda pendukung polusi dan kanker itu.
Di pinggiran jalan Berjaya Times Square, dekat Planet Hollywood, Malaysia, saya melihat para wanita merokok seisa, dgn glass yang menawan, tentunya para pria terperangah melihat bibir dari para cewek menawan itu menyedot selang seisa. Suasananya sungguh eksotis. Perempuan Timur dalam perangkap beranjak modern.
Bisa jadi saya merokok kadang-kadang terjebak suasana.
Biasanya larut dalam kesendirian.
Dalam tekanan beban pekerjaan yang menumpuk.
Tentunya sambil terbatuk-batuk, karena tidak terbiasa.
Di Amsterdam saya kedinginan. Musim dingin sebentar lagi masuk. Awal Oktober.T
Nah, masuk toko souvenir, sederet rokok merk terpajang.
Jujur saja salut.
Peringatan bahwa merokok itu berbahaya tertulis vulgar disetiap bungkus rokok. Hurufnya juga mencolok. Tidak seperti di negeri kita, huruf peringatan bahaya merokok itu kecil-kecil, font-nya hampir nggak kelihatan, seperti ingin disembunyikan, agar sulit dibaca.
Di depan museum Madame Tussod saya terbatuk-batuk.
Menghisap pendukung kanker itu.
Rupanya sebatang rokok tak mampu mengusir rasa dingin.
Wajar saja negeri walanda ini (pada jaman kompenin VOC) mengejar rempah pemanas badan ke negeri tropis, nusantara, negeri yang kubanggakan. Mulanya untuk mengusir dingin di badan, akhirnya masuk ke alam kolonialis.
Rembah dan tembakau, awal mulai berubahnya sebuah ta.
tanan masyarakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar